Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisna, MHSc menempuh pendidikan kedokterannya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dikenal sebagai salah satu pakar epidemiologi di Indonesia, Prof Bambang mengambil gelar MHSc Epidemiology di School of Hygiene and Public Health, the John Hopkins University di Amerika Serikat (1980) dan DrPH di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (1993). Selama berkarir dan menjadi Guru Besar di FKM UI, bidang keahlian beliau meliputi: Epidemiologi Penyakit kronik, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Epidemiologi Genetika, Epidemiologi Molekuler, Epidemiologi Makro, Epidemiologi Bencana, Epidemiologi Klinik1.
Memiliki motto “Berusaha menjadi lilin di tempat gelap”, Prof Bambang konsisten membimbing para mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikannya, melaksanakan penelitian dan menerbitkan sekitar 100 karya ilmiah, baik di Indonesia maupun di jurnal internasional2. Beberapa tulisannya yang menginspirasi dan disitasi oleh banyak penulis lainnya adalah The effect of curcumin on lipid level in patients with acute coronary syndrome (2008), Care-seeking for fatal illnesses in young children in Indramayu, West Java, Indonesia (1993) dan Prevalence and predictors of undiagnosed diabetes mellitus in Indonesia (2010)3. Hingga akhir hayatnya, beliau tercatat sebagai anggota dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), anggota Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dan beberapa organisasi profesi lainnya.
Setelah mengalami demam dan sesak napas, Prof Bambang ditangani dan dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta. Kondisi beliau memburuk dan kemudian meninggal dunia pada hari Senin, 23 Maret 2020, pukul 08.30 WIB dengan status Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Beliau diduga terpapar virus SARS Cov-2 dari salah satu pasien suspek COVID-19 yang dirawatnya. Selamat jalan Profesor yang bersahaja…
Testimoni:
Kevin Sidharta, mahasiswa jurusan Epidemiologi, FKM UI4: Prof Bambang itu orangnya baik, perhatian dan tidak pernah marah. Tidak pelit ilmu dan berbagi pengetahuan. Contohnya, beliau mengirim jurnal tentang transmisi COVID-19 dari ibu hamil ke janinnya. Terkenal sebagai dosen favorit yang senang berdiskusi, bertukar pikiran dan mengapresiasi mahasiswanya. Terakhir mengajar secara daring tanggal 20 Maret 2020, beliau menyempatkan mengirim pesan WA yang dikenang sebagai isyarat pamitnya sang guru, “Terima kasih ya Kevin dan kawan-kawan atas partisipasinya”. Saya merasa kehilangan sekali.
Dr. dr. Ghea Pandita S, MKes, SpS5: Alhamdulillaah, sekali lagi saya beruntung. Saat sekolah S3 ditaqdirkan Allah dibimbing dan dipromotori oleh Prof. Bambang Sutrisna, yang mengenalkan dan menyuruh saya mendalami topik Clinical Decision Analysis (CDA).
Di tengah kesibukan sebagai Guru Besar Epidemiologi Klinis, Beliau masih rutin praktek pribadi sebagai dokter umum. Bukan untuk apa-apa, tetapi Beliau bilang supaya dapt menolong orang sebagai dokter. Supaya tidak lupa ilmu klinis, dan supaya langsung bisa mempraktikkan ilmu Epidemiologi Klinis di praktek dokter sehari-hari tersebut. Jadi pas kasih kuliah ke mahasiswa, lebih pas ilmunya.
Pembelajaran Beliau selalu dibawakan dengan unik. Jika ada yang harus saya pelajari, Beliau tidak langsung memberikannya begitu saja. Saya diminta belajar sendiri dan ketika sudah siap, baru diajak diskusi mendalam. Mungkin beliau paham, Kalau langsung diajari, saya akan malah mencari bahan-bahan dan belakar sendiri. Apalagi saya praktik setiap hari di RS. Jadi kalau tidak dipaksa, pasti hanya punya waktu sedikit untuk belajar.
Pernyataan-pernyataan Beliau selalu membuka wawasan. Diantaranya yang sering diulang, “Meskipun di Epidemiologi Klinis banyak pakai angka-angka statistik, tapi cara kita membaca angka-angka itu harus dengan intuisi sebagai klinisi. Jangan terjebak menangani pasien hanya berdasarkan indicator-indikator angka saja. Pasien kita manusia dengan berbagai sisi kemanusiannya”. Kemudian ada lagi, “Pasien-pasien kita itu manusia yang utuh. Masing-masing punya ciri-ciri khas. Kalau kita bisa menerapkan CDA dengan baik, kita sudah menerapkan personalisasi EBM. Itulah bentuk penghargaan kita kepada mereka. Menempatkan manusia sebagai pribadi yang utuh. Bukan hanya bagian dari populasi”.
Nasihat-nasihat Beliau juga selalu memiliki makna mendalam. Beberapa yang selalu saya ingat, “Kalau tanya umur pasien, coba sekali-sekali tanya berapa detik umur mereka. Jangan tahun. Karena kalau kita tanya dalam satuan detik, maka kita akan sadar sudah berapa banyak nikmat Tuhan yang diberikan kepada kita. Sudah berapa kali jantung kita berdetak”. Nasihat lainnya, “Kalau kita melihat hasil uji analisis multivariate. Salah satu yang kita lihat adalah besaran R2. Nilai menunjukkan seberapa besar gabungan variable-variabel itu berperan dalam terjadinya keluaran (outcome). Nilai ini tidak akan pernah sampai 100% karena selalu ada variable yang tidak dapat kita duga. Itu menunjukkan keterbatasan manusia. Sekaligus menunjukkan betapa Tuhan itu Maha Kuasa”.
...
Selamat jalan Guru terbaikku. Semoga ilmu yang diberikan selalu menjadi contoh yang baik dan teladan yang ditiru. “Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun”.
____________________________
1https://www.fkm.ui.ac.id/guru-besar/
2https://www.ui.ac.id/download/guru_besar/Prof_Bambang_Sutrisna_MD_MHSc_DrPH.pdf
3https://scholar.google.co.id/citations?hl=en&user=xqNl-fcAAAAJ&view_op=list_works
4https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/24/07371681/selamat-jalan-bambang-sutrisna-profesor-epidemiologi-fkm-ui-yang-rendah?page=all
5https://www.facebook.com/gea.pandhitas